Jumat, 20 Desember 2013

Sebuah Rangkuman

Masih hangat dalam ingatan tentang sebuah perkenalan dengan alam
Bagaimana raut wajah para penumpang kapal PRIMAABADI
Tenang... Kantuk mendominasi
Sekalipun jauh perjalanan yang akan ditempuh, tak sedikitpun nampak kekhawatiran
Mudah kutebak, apa yang menjadi hasrat telah membunuh kecamuk kekhawatiran

Meskipun bekas basah dari sana telah berbaur bersama angin
Masih jelas juga bagaimana getaran motor kapal
Bagaimana hantaman ombak di tengah lautan
Bagaimana pergerakan awan-awan
Bagaimana hembusan angin dengan aroma asinnya
Dan bagaimana keceriaan yang berbaur bersama penat perjalanan
Hanya satu saja yang luput, bagaimana isi hati penumpang di dalam ruangan bawah kapal

Setelah berpapasan dengan puluhan pulau dari kejauhan
Tibalah masanya kapal ini berjabatan erat dengan dermaga pulau Cangke'
Disambut sekumpulan remaja yang tiba sehari lebih dahulu dengan kesibukan masing-masing
Ada yang berlarian, ada yang menyelam, ada yang terlihat merenung, dan ada yang menonton kedatangan kami

Rupanya hujan begitu inginnya menyapa kami
Jejak pertama kami pun disapa mesra olehnya
Tenda terpancang, karpet tergelar, lelah mati suri
Kawananku tak tinggal diam, seketika mereka menjadi pemburu senja
Momen pertama, kutipan pertama, adalah cerita senja
Kamera pun bercerita...
Bercerita ia bersama angin yang tak sedang diam
Bercerita bersama hujan yang sejak tadi menaungi
Bercerita tentang pantai yang basah oleh buih hantaman ombak
Dan puncaknya, bercerita tentang jingga di ufuk barat, horizon, lautan luas

Titik hujan mengajak kawanannya yang lain
Deras, kami bermain bersama hujan
Hingga malam
Hingga dingin iri pada hujan
Kami pun menjamu dingin di dalam tenda
Kami menjamunya dengan kopi hangat, batang rokok, bersama nyanyian diiringi alunan gitar
Sampai akhirnya suara-suara terhenti
Hanya ada dengkuran

Malam berada di puncaknya
Kesadaranku datang, menyapa
Tak kusia-siakan malam, segera aku berlari menuju dermaga
Lalu memandang jauh ke lautan, hanya ada kesunyian
Hanya ombak dan angin malam yang bersenandung
Terduduk masih dengan kekaguman
Ada kerlap-kerlip perahu nelayan, ada cahaya terang di atas langit pulau seberang tanda kehidupan
Benar saja, pulau yang aku duduki hanya dihuni sepasang tua renta
Terisolasi dari cahaya kala malam
Kontras...
Seolah keheningan menjadikanku seorang yang terdampar
Aku pun berkisah melalui penaku dalam sebuah lembaran yang lain
Hingga kantuk kembali datang, aku menuju kemah dan rebahan di atas ayunan
Tertidur, dan sialnya hujan di subuh hari mengguyur mimpiku

Masih hangat juga bagaimana sukacita merasuki kawananku
Pagi, pasir putih, snorkling, terumbu karang, ikan, berbaur mengilhamkan keindahan
Hujan tak menyurutkan kami berjam-jam
Hanya waktu sendirilah yang menghentikan

Menit berselang, tenda tak lagi terpancang, tinggal tubuh berbalut pakaian basah yang menggendong ransel
Ada yang terus terngiang di benakku
Detik sebelum di atas kapal, berpamitan pada sepasang suami istri penghuni pulau
Kuciumi tanga keduanya, kulirik kuluman senyum di bibir keduanya
Hanya dapat kuterjemahkan dengan asumsi
Ada isyarat do'a dan harapan akan kembalinya kami
Ah, benar, aku akan kembali
Aku merasakan kekurangan, dan kekurangan itu akan menemani kunjunganku suatu hari
Sosok lawan jenis, sosok juwita, sosok yang pernah kujelaskan dalam kisah lain

Kapal beranjak
Tak banyak kisah dalam perjalanan pulang
Kelelahan meninabobokanku
Kesadaranku datang ketika pelabuhan di ambang pandangan
Lalu bersandar di Pelabuhan Paotere'

Tidak ada komentar:

Posting Komentar