Dan akhirnya kutemukan ia
Bahwa aku tak pernah benar-benar mengerti keindahan itu
Bahwa aku tak pernah menjadi seorang pengamat yang semestinya
Bahwa aku hanya terdorong untuk mempertontonkan aurat keindahan
Sementara keindahan itu tak pernah bercerita dengan sendirinya
Kutahan ia hingga tanganku mengotori dan merusaknya
Sungguh terlalu banyak sampah yang telah aku tuliskan dengan tangan ini
Serasa ingin kurobek lembarannya, ingin kuhapus semua dari pandanganku
Kubuang hingga tak bersisa
Aku tersadar, aku terlalu sibuk ingin menyerupai para penyair ternama
Kupelajari sastra untuk memoles tulisanku
Kubedaki keindahan dengan lumpur kotor tanpa sadarku
Aku termakan keegoisan, aku tertipu oleh pujian
Sementara, karyaku hanyalah buangan tak berharga
Tak bernilai dan hanya menuliskan sebuah kehampaan
Aku, kulihat diriku dalam coretan-coretanku
Menyedihkan, menjijikkan, ingin kutikam diriku dengan pemikirannya itu
Yang telah merusak sejatinya keikhlasan
Membunuh arti kejujuran
Sungguh telah aku agung-agungkan diksi, metafora, repetisi, dan sebangsa teori-teori lainnya
Benar-benar aku pun terjebak
Sudahlah...
Begitu perihnya
Itulah diriku, itulah kekeliruanku
Sebuah kesalahan yang mengawali, dan akan kuakhiri
Aku hanya ingin merenungkan, menyaksikan, dan menyampaikan
Aku tak kan sering melangkah mundur hanya untuk memberi garis hitam pada kata, baris, atau bait
Namun aku lebih tak akan segan menghilangkan kekeliruan sekalipun harus kembali ke awal tulisanku
Bahkan akan kucoreti keseluruhannya
Itulah diriku, bukan pencipta, namun cukup menyampaikan apa yang telah tercipta
Senin, 23 Desember 2013
Dalam Defenisi
Jumat, 20 Desember 2013
Sebuah Rangkuman
Masih hangat dalam ingatan tentang sebuah perkenalan dengan alam
Bagaimana raut wajah para penumpang kapal PRIMAABADI
Tenang... Kantuk mendominasi
Sekalipun jauh perjalanan yang akan ditempuh, tak sedikitpun nampak kekhawatiran
Mudah kutebak, apa yang menjadi hasrat telah membunuh kecamuk kekhawatiran
Meskipun bekas basah dari sana telah berbaur bersama angin
Masih jelas juga bagaimana getaran motor kapal
Bagaimana hantaman ombak di tengah lautan
Bagaimana pergerakan awan-awan
Bagaimana hembusan angin dengan aroma asinnya
Dan bagaimana keceriaan yang berbaur bersama penat perjalanan
Hanya satu saja yang luput, bagaimana isi hati penumpang di dalam ruangan bawah kapal
Setelah berpapasan dengan puluhan pulau dari kejauhan
Tibalah masanya kapal ini berjabatan erat dengan dermaga pulau Cangke'
Disambut sekumpulan remaja yang tiba sehari lebih dahulu dengan kesibukan masing-masing
Ada yang berlarian, ada yang menyelam, ada yang terlihat merenung, dan ada yang menonton kedatangan kami
Rupanya hujan begitu inginnya menyapa kami
Jejak pertama kami pun disapa mesra olehnya
Tenda terpancang, karpet tergelar, lelah mati suri
Kawananku tak tinggal diam, seketika mereka menjadi pemburu senja
Momen pertama, kutipan pertama, adalah cerita senja
Kamera pun bercerita...
Bercerita ia bersama angin yang tak sedang diam
Bercerita bersama hujan yang sejak tadi menaungi
Bercerita tentang pantai yang basah oleh buih hantaman ombak
Dan puncaknya, bercerita tentang jingga di ufuk barat, horizon, lautan luas
Titik hujan mengajak kawanannya yang lain
Deras, kami bermain bersama hujan
Hingga malam
Hingga dingin iri pada hujan
Kami pun menjamu dingin di dalam tenda
Kami menjamunya dengan kopi hangat, batang rokok, bersama nyanyian diiringi alunan gitar
Sampai akhirnya suara-suara terhenti
Hanya ada dengkuran
Malam berada di puncaknya
Kesadaranku datang, menyapa
Tak kusia-siakan malam, segera aku berlari menuju dermaga
Lalu memandang jauh ke lautan, hanya ada kesunyian
Hanya ombak dan angin malam yang bersenandung
Terduduk masih dengan kekaguman
Ada kerlap-kerlip perahu nelayan, ada cahaya terang di atas langit pulau seberang tanda kehidupan
Benar saja, pulau yang aku duduki hanya dihuni sepasang tua renta
Terisolasi dari cahaya kala malam
Kontras...
Seolah keheningan menjadikanku seorang yang terdampar
Aku pun berkisah melalui penaku dalam sebuah lembaran yang lain
Hingga kantuk kembali datang, aku menuju kemah dan rebahan di atas ayunan
Tertidur, dan sialnya hujan di subuh hari mengguyur mimpiku
Masih hangat juga bagaimana sukacita merasuki kawananku
Pagi, pasir putih, snorkling, terumbu karang, ikan, berbaur mengilhamkan keindahan
Hujan tak menyurutkan kami berjam-jam
Hanya waktu sendirilah yang menghentikan
Menit berselang, tenda tak lagi terpancang, tinggal tubuh berbalut pakaian basah yang menggendong ransel
Ada yang terus terngiang di benakku
Detik sebelum di atas kapal, berpamitan pada sepasang suami istri penghuni pulau
Kuciumi tanga keduanya, kulirik kuluman senyum di bibir keduanya
Hanya dapat kuterjemahkan dengan asumsi
Ada isyarat do'a dan harapan akan kembalinya kami
Ah, benar, aku akan kembali
Aku merasakan kekurangan, dan kekurangan itu akan menemani kunjunganku suatu hari
Sosok lawan jenis, sosok juwita, sosok yang pernah kujelaskan dalam kisah lain
Kapal beranjak
Tak banyak kisah dalam perjalanan pulang
Kelelahan meninabobokanku
Kesadaranku datang ketika pelabuhan di ambang pandangan
Lalu bersandar di Pelabuhan Paotere'
Kamis, 19 Desember 2013
Bersembunyi, Tersembunyi
Malam kian menjauh dari pertengahan
Makhluk kecil bercapit membuat gaduh dari nyenyak
Terjaga kini yang menyelimuti
Lalu kurogoh saku tasku
Mengeluarkan perkakas sastra
Bersenandung di panggung malam dengan jemari
Sekalipun berpuluh manusia terisolasi
Namun keheningan merajai selang waktu
Masih terasa basahnya pasir kujejaki
Hujan yang sempat membatasi gerak tak lagi berkuasa
Perlahan tubuhku telah berdiri di dermaga
Dari sini kucurahkan rekam indera
Sebelumnya aku beranjak dari ayunan, menajamkan kesadaran
Sembari menghisap sebatang rokok
Mengepulkan asapnya seolah menghembuskan kedukaan
Ketenangan adalah backgroundnya
Dengan backsound ombak berkejaran menuju tepian pantai
Tak jauh kerlap-kerlip cahaya merah menghiasi pulau
Berpendar melalui perahu-perahu nelayan
Kulepas pandangan lebih jauh
Tertangkap olehku cahaya jingga di langit
Tepat di atas pulau-pulau berpenghuni
Masih dalam belaian angin malam
Kumenengadah ke langit
Tak nampak bintang maupun bulan
Hanya dipenuhi oleh awan yang entah darimana cahayanya
Tak ada pengabadian potret malam ini
Hanya kutuang dalam catatan sejarahku
Terekam oleh tinta di atas kertas
Tersembunyi...
Rabu, 18 Desember 2013
Angan dalam Pelayaran
Tiba-tiba kuingat dirimu
Menginginkan hadirmu disini
Menggantikan kekasih kesepianku
Dengan beralaskan papan hijau yang basah
Menyandarkan lengan kiri di sisi kapal
Tersudut sepi di belakang
Ada ruang kosong di kananku
Mampu menampung dua badan bersisian
Ah, harusnya kau mengisinya
Di kekosongan itu
Sambil merebahkan kepalamu di pundakku
Lalu kita melemparkan pandangan
Nun jauh ke sebelah kiri sana
Berkas cahaya begitu indah
Jika matamu lelah, tertidurlah
Ada aku yang meneduhkanmu dari teriknya
Dan kubiarkan terus seperti itu
Hingga bersandarnya kapal di dermaga
Di depan sana ada bayang pulau tujuan kita
Ketidakhadiranmu ini...
Suatu saat akan kuculik dirimu
Entah sebatas niat ataukah akan menjadi nasib
Dia menantikan dirimu, tujuan kita
Kekasih dalam anganku
Selasa, 17 Desember 2013
Tak Terbendung
Masih...
Kucoret lembar demi lembar
Kutuliskan seolah tak terbendung
Hanya pena dan buku bersampul hitam
Menggelar pertunjukan tari
Dan bercinta di kepalaku
Ah, terlalu banyak kata
Tak sanggup kupilah
Ombak
Tentang ombak
Kawan di bentang lautan
Menghantam, memercik, membasahi
Menguap di udara asin
Menebar ke mata perih
Jauh di bawah surya
Menggelar karpet jingga
Tak berujung
Tak tersentuh keramahannya
Cukup untukmu
INDAH
si Pemikir
Matahari begitu teriknya
Seluruh penjuru kawanan awan berderet
Horizon berbatas lautan
Pulau-pulau kecil seperti manik-manik
Semuanya di kejauhan
Terhampar berjauh-jauhan
Lukisan yang sepi
Dibaliknya tersembunyi keindahan
Dinikmati dengan senyuman
Ekpresi datar, makna menanjak
Bukanlah sekedar lukisan keheningan
Adalah maha karya
Menjemput Angan
Kebisingan mulai berteriak
Beradu bersama gulungan ombak
Kapal perlahan membelah, membuka jalur
Menyeberangkan sekumpulan fikiran
Hingga akhirnya jauh telah terlukis di atas air
Di tengah-tengah asal dan tuju
Benak tak mampu berkata
Hanya seorang diriku yang tahu
Kulintasi jalan nasib ini
Tanpa menoleh jejak tak berbentuk
Hasrat bulat untuk menjamah
Daratan perawan tapak kakiku
Hanya potret imajinasi bekalku
Rekonstruksi mulut ke mulut
Kepada engkau yang menanti pecinta
Yang tak berbilang tubuh kau puaskan
Sungguh banyak mimpi sepertiku
Sungguh banyak kerinduan oleh cumbuanmu
Namun, buatku, detik ini, dalam desah
Dirimu misteri
Sudilah tuangkan anggur buatku
Tunggulah diriku
Aku dalam perjalananku
Untukmu, satu dari surga kefanaan
Kamis, 21 November 2013
null
Kepada malam dengan biusnya
Rupa bisu mendekap dingin
Ruang para pengejar mimpi
Tidak buatku
Tidak saat ini
Dirimu candu, malam
Kesadaranku milikku
Tidak untukmu
Kisahku saja untuk kita
Sandar aku pada bidang abstrak
Kaku tubuh
Rebah hati
Cedera akal
Tersisa lidahku dan kuping malam
Temani laraku, malam
Ucapku tak banyak
Namun ia merintih
Maka selimutilah
Tiap penggal kuberdialog
Pada luar diri
Kehendak saja pembeda
Tuntutan kita sama
Tahukah, malam?
Kubisik lirih
Jangan abaikan
Pula kau rendahkan
Rindu aku padanya
Selalu...
Dekaplah, malam
Rinduku
Pun rindunya
Bercengkerama bersama
Berpadu olehmu
Sabtu, 02 November 2013
Musafir
Kutemukan jiwa yang kosong
Dalam buaian kehampaan
Membenarkan dirinya bersama kegilaan
Melukai tiap sendi dalam argumentasi angkuhnya
Penyakit yang meradang memenjarakan fikiran
Tak terikat lagi sapaan kehidupan
Berbaurlah ia keluar dari nyata
Berkhayal pasal pengetahuan dari alam
Mencoba lebur dengan irama
Terombang-ambing deret tinta
Menyelam, tenggelam, tak berarti lagi
Sebut saja ia atheis
Kini menerawang kian jauh
Mengulur waktu dalam kebingungan
Melacur pada simpangan teori-teori yang masih mewangi
Hingga membangkai, busuk, tak terurus
Telah terputuslah nadi kehidupannya
Melenyapkan rahasia
Kekal dalam kotak ilmu
Jauh telah kupandang
Dari ambang kesadaran
Kepingan raga seperti noktah
Tak berdaya ia dalam layar
Luas terhampas tanah, air, udara
Masih ada lapis nafas menyelimuti
Rekursif hingga tak berujung
Menggerakkan tendon lewat godaannya
Rasa keindahan merangsangmu
Inderamu kaku
Pecandu
Jumat, 27 September 2013
Monolog Sahabat
Kau si tubuh kaku
Tertidur pulas dengan mimpimu
Tak inginkah kau bercerita saat terbangun nanti?
Sebab kau terlihat asik dengan sunggingan senyum itu
Ah, sia-sia kau kuajak bercakap
Kau membisu seperti batu
Ataukah aku bermonolog saja?
Sejenak mengobrol melintasi waktu ke belakang
Hanya mengingat saja kawan, tak lebih
Baiknya kumulai dengan keluhan-keluhanku
Kau sebelumnya telah terlepas dari keakraban
Kau memulainya dengan menutup kehadiranmu
Sebuah berkah, kau kembali merajut ikatan emosi
Kau datang melebur diri dalam suka dan duka
Dengan membawa lencana sok hebatmu
Berbekalkan debat-debat jitumu
Ah, saya malas mengakui kehebatanmu itu
Tahukah kau kadang ada benci kusematkan untukmu
Bukan persaudaraan jika tak ada benci
Tapi kebencianku berbeda materinya
Kebencianku saat berbenturan isi kepalaku denganmu
Kau tetap ngotot, akupun begitu
Terlebih jika saya merasa dilucuti kekalahan
Kebencian yang unik, lucu menurutku
Kebencian yang lainnya masih ada, kawan
Sentilan pedismi, komentar tepatnya
Ketika kepalaku membahas perkara wanita dengan selimut cinta
Aku masih tak pernah suka dengan tanggapanmu
Melankolis bukanlah lebay, kawan
Kutahu kau hanya berusaha mencairkan kesedihanku dengan olokanmu itu
Basi kurasa, tak berimbas apapun
Perasaan itu tentang ketulusan, bukan paksaan
Masih banyak kebencianku
Atau sebut saja itu kecemburuanku
Aku ingin membahas cerita lain kawan
Tapi biarkan ia tersimpan
Anggap saja cerita yang akan kusampaikan itu adalah tangan kanan
Dan ceritaku ini adalah tangan kiri
Tak baik kisah itu kucerita detailnya kan?
Sedikit kucerita mungkin tak detail, kawan
Kau selalu membangunkan tidurku, niatmu baik, aku tak mampu mengeluh
Kita kadang berbagi tempat di ruangan sebelah di titik waktu tertentu
Ah, iri aku rasanya kawan
Karena kau begitu asyik dan begitu seringnya menempati ruangan itu sambil sesenggukan
Hanya sedikit, tapi kau pasti mengerti dengan ceritaku
Biarkan hanya kau saja yang mengerti, kawan
Hei, kau juga seringkali menegur kesedihanku
Kau mengejek kesedihan seorang pria jika ia tengah galau
Kini, kau fikir aku sudi berurai tangis untukmu jika kau menegur seperti itu, kawan?
Tak akan kawan
Tapi hari ini berbeda
Sebanyak apapun tumpah ruah air mata, masihkah kau bisa menegurnya?
Mencelotehinya, menyindirnya?
Kau asik dengan mimpimu
Dan saya pun tahu mimpimu itu tak kan berkisah
Kau terlena sekarang dalam dekapan-Nya
Maka biarkan tangis ini ada untukmu sekali saja
Tak banyak, hanya sebagai simbol akhir diskusi kita
Rabu, 21 Agustus 2013
Melukis Perih
Kabut pun perlahan terberai
Menampakkan jelas gelap malam
Berhiaskan gemerlapan lampu-lampu rumahan
Yang menyorot sejauh pandangan
Wajah samar berdiam di seberang
Menatap siaga seperti elang
Mengintai, sesekali hendak mendekat
Selalu urung dalam kewaspadaan
Saat kabut telah lenyap sepenuhnya
Seketika bulan pada puncak terangnya
Tak ada suara, hanya sepi yang berteriak lantang
Sosok di seberang telah tertelan gulita
Melangkah mundur dipelucuti keangkuhan
Hingga beberapa detik waktu berlalu
Pecahlah sebuah erangan
Melepaskan segala hasrat
Kepedihan yang telah di atas ambangnya
Terdengar derap langkah kian memburu
Hingga lenyaplah kebisingan
Keheningan kembali berteriak lantang
Rabu, 05 Juni 2013
Jingga di Ufuk Utara
Jingga berbisik di ambang batas lelah
Bersembunyi di balik rimbun hijau
Tak tergapai menara menjulang
Jingga kian mempesona di balik cadarnya
Menghadirkan ilusi di hamparan payau
Masih membisikkan kepenatan
Jingga pun bermandikan peluh kini
Berhandukkan kain hitam
Berhiaskan intan putih
(Senja hari di selatan Taman Romansa...)
Senin, 27 Mei 2013
Diskusi
Akan ada masa ketika muda berontak
Menantang penghianatan waktu
Berteriak lantang pada kejam semesta
Yang menghunus pedang di balik punggung
Hanyalah makian kotor yang mampu terbalaskan
Dengan dendam dalam kebisuan
Engkau mempertanyakan keadilan
Engkau mempermasalahkan sejarah
Engkau meratapi matinya indera
Berkelana jiwa pecundang
Terlucuti, tertindas, hancurnya kebanggaan
Terlena dalam fikiran kusut
Terperangkap labirin waktu
Pintu-pintu asa tersegel
Keberadaanpun perlahan samar
Dan tiba suatu masa yang lain
Sederet jawab mengalir bagai aliran sungai
Seorang diri meneguk habis airnya
Hingga hilang dahaga
Kepuasan tak sepenuhnya ada, namun ia ada
Menguatkan tulang yang rapuh
Megisi setiap sendi yang kaku
Mengalir dalam denyut nadi yang melemah
Menghangatkan aura yang redup
Semesta menjawab bersama waktu yang tak tega menghapus
Memilin akal yang pernah kusut
Bahwa tak ada kutukan
Dirimu adalah siklus
Dirimu adalah akumulasi
Dirimu adalah pasang-surut
Terjatuh dan bangkit
Menempa kelemahan dirimu